Jumat, 15 Oktober 2010

PUISI HATI

Suatu hari, seorang kawan bertanya kepada saya, “Jika kau jadi seorang penulis, ke mana arah kamu ingin fokuskan: Puisi ataukah Cerita?” Saya terbelalak dengan pertanyaannya yang menarik itu. Kebanyakan, orang cenderung untuk bimbang sejenak untuk menjawab pertanyaan mudah tersebut, yang secara seketika menempatkan mereka di antara pilihan dan pilihan. Secara mengejutkan, saya juga tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan ini demi mengejutkan dia juga. Tanpa keberpihakan, saya biarkan kedua pilihan itu di tempatnya masing-masing. Lalu, jawab saya: “Cerita memberikan saya lebih banyak ruang untuk menumpahkan pikiran-pikiran dan ide-ide saya; di saat yang sama, puisi membiarkan saya berdansa dengan gaya, memampukan untuk menceritakan kisah dan tetap menjaga misteri di dalamnya.” Puisi datang dari hati, menurut saya. Saya cenderung untuk menuliskannya dari pikiran saya, tapi dengan kesadaran bahwa pikiran saya hanyalah sebuah ruang untuk memenuhi kenangan temporal. Tidak seperti hati, ruang khusus yang mampu menjaga kenangan-kenangan abadi, entah sedih atau senang, marah pun tenang; dimana kata-kata dengan mudah terbentuk di atas kertas. Ada kesadaran bahwa pikiran kita juga berperan dalam menulis, tetapi, pikirkanlah lagi: tanpa hati, bagaimana sebuah kata mampu mengekspresikan rasa tentang kebenaran dan kebohongan? Benar, semua orang di bumi dapat membuat puisi. Sama seperti semua orang dapat berdansa, tapi tidak semua orang dapat berdansa dengan baik. Baca kembali baris ini, “.. puisi membiarkan saya berdansa dengan gaya, memampukan untuk menceritakan kisah dan tetap menjaga misteri di dalamnya.” Puisi adalah kesenian, dan kesenian adalah indah. Untuk kebanyakan mata, mereka tidak dapat melihat keindahan yang sesungguhnya di sela-sela baris kata. Perlu kesabaran penuh untuk menemukan hati yang terbuat dari emas. Hati kita memampukan kita untuk melangkah masuk ke dunia yang kita inginkan. Di saat yang bersamaan, pikiran kita mungkin mampu berpikir dengan bebas, tapi tidak dilengkapi tiket untuk mencapai keindahan sejati kita. Selama pengalaman saya, selalulah sulit untuk menulis dengan pikiran dan bukan dari hati. Kata-kata yang kita gunakan membutuhkan hati untuk menentukan perasaan yang benar, di saat pikiran semestinya berfungsi untuk memenuhi ruang demi mengundang (rasa) kesenian sebelum menuliskan sesuatu di atas kertas. Sebagai kesimpulan, puisi membutuhkan hati untuk mampu berdansa dengan gaya, untuk bernyanyi di sepanjang kata-kata yang mengalir, dimana kisah berbisik dari telinga ke telinga, dan mengijinkan jiwa untuk berenang ke laut kesenian.

1 komentar: